Rabu, 04 April 2012

ANNIVERSARY 8th SMKN 1 LELEA



ANNIVERSARY 8th SMKN 1 LELEA
18 November 2011 tepat hari Jum'at pagi dimana cuaca sangat mendukung sekali sehingga segala aktivitas dapat berjalan dengan lancar. Seperti biasa suasana SMK Negeri 1 Lelea sekitar jam 6 lewat 30 menit sudah ramai dipadati oleh siswa/siswi. Tetapi hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana setiap hari siswa datang ke sekolah dengan membawa alat tulis menulis (atm) namun berbeda pada hari jum'at tanggal 18 November 2011 dimana siswa yang berdatangan ke sekolah dengan membawa tumpeng dan pernak-pernik lainnya untuk menghias tumpeng-tumpeng mereka.


Apa yang terjadi pada hari itu???
Pada hari itu tepat tanggal 18 November 2011 SMK Negeri 1 Lelea hendak mengadakan hari jadinya yang ke-8. Bukan hanya ada tumpeng dan kue loh..... ternyata pada perayaan ulang tahunnya tersebut sudah dikonsep sedemikian rupa dengan kegiatan-kegiatan lainnya.

Mau tau..???


Selain kue dan tumpeng ternyata perayaan ulang tahun di isi lomba-lomba kreatifitas siswa yaitu menghias tumpeng. Tidak ketinggalan pula, perayaan ulang tahun ini digelar acara keagamaan serta iringan-iringan musik marawis yang meramaikan suasana di hari itu.

Acara dimulai tepat jam 7 lewat 30 menit wib bertempat di Masjid SMK Negeri 1 Lelea dimana semua siswa sudah berkumpul untuk mengikuti termin demi termin acara tersebut. Beberapa tanggapan ataupun respon masyarakat terhadap kegiatan keagamaan sangatlah kurang  mungkin hal tersebut sudah digerus oleh perkembangan zaman ataupun budaya barat yang sudah masuk kedalam kehidupan kita, namun berbeda dengan di SMK Negeri 1 Lelea dalam perayaan ulang tahunnya dimana masih banyak siswa/siswi yang antusias dan mengikuti kegiatan keagamaan yang di sajikan oleh ustadz yang diundang oleh pihak sekolah untuk memberikan tausiyah dan pencerahaan rohani untuk siswa, guru bahkan kepala sekolah. Alhasil.......kegiatan keagaam tersebut berjalan dengan lancar dan mendapat respon oleh siswa/siswi SMK Negeri 1 Lelea. Seusai kegiatan keagamaan kemudian acara tersebut ditutup dengan sholat jum'at berjamaah.
Sumber : Akrela SMKN 1 Lelea

SEJARAH NADRAN


UPACARA ADAT NADRAN

Upacara ini merupakan sebuah cerminan dari sebuah hubungan manusia dengan sang pencipta dengan berupa ungkapan rasa sukur akan hasil tangkapan ikan dan mengharapkan akan meningkatnya hasil di masa mendatang serta dijauhkan dari bencana dan mara bahaya dalam mencari nafkah di laut. Umumnya upacara adat nadran ini diselenggarakan  antara bulan Oktober sampai Desember di Pantai Eretan, Dadap, Karangsong, Limbangan, Glayem, Bugel dan Ujung Gebang.

SEJARAH ADAT MAPAG SRI


UPACARA ADAT MAPAG SRI

Upacara Mapag Sri, apabila ditilik dari bahasa Sunda mengandung arti menjemput padi. Dalam bahasa Sunda, mapag berarti menjemput, sedangkan sri dimaksudkan sebagai padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen.


Maksud dan Tujuan Upacara 
Upacara Mapag Sri dilaksanakan dengan maksud sebagai ungkapan rasa syukur para petani kepada Tuhan Yang Maha Esa karena panen yang diharapkan telah tiba dengan hasil yang memuaskan.


Waktu Penyelenggaraan Upacara 
Upacara Mapag Sri dilaksanakan menjelang musim panen. Meskipun panen ini berlangsung setiap tahun, namun demikian belakangan ini Upacara Mapag Sri tidak selalu dilaksanakan setiap tahunnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan upacara ini tidak bisa selalu dilaksanakan. Faktor-faktor yang dimaksud adalah: faktor keamanan yang tidak mendukung karena sering terjadi tawuran di salah satu desa di Kecamatan Sidang; faktor kedua adalah panan tidak serempak, faktor ketiga adalah panen kurang baik hasilnya sehingga tidak ada dana.





Tempat Penyelenggaraan Upacara 
Upacara Mapag Sri dilaksanakan di desa-desa yang memiliki areal pesawahan. Beberapa desa yang dimaksud di antaranya adalah: Desa Pasekan, Karanganyar ilir, Panyidangan Wetan, Rambatan, dan Panyidangan Kulon.

Di setiap desa yang memiliki areal sawah, upacara Mapag Sri dilaksanakan di sawahdemplot. Sawah demplotadalah sawah percontohan yang dimiliki oleh siapa saja atau perorangan akan tetapi digarap bersama.

Seandainya di suatu desa tidak ada demplot, maka upacara Mapag Sri dilaksanakan di sawah yang letaknya strategis. Strategis artinya lokasinya berada di pinggir jalan dan pematangnya luas. Selain itu, hasil sawahnya baik.

Teknis Penyelenggaraan Upacara 
Sebelum melaksanakan upacara, kepala desa mengadakan musyawarah/rempugandengan tua-tua desa atau pemuka masyarakat. Maksud rempugan tersebut untuk menentukan hari dan dana yang diperlukan untuk upacara. Usai musyawarah, para pamong desa melakukan pengecekan ke sawah-sawah. Bila benar padi telah menguning, segera mengadakan pungutan dana secara gotong-royong. Besarnya pungutan bergantung kemampuan masyarakat.

Kelau melihat dari urut-urutan upacara dalam lingkaran pertanian, upacara awal adalah upacara Sedekah Bumi, kemudian upacara Baritan, dan terakhir upacara Mapag Sri. Panitia untuk upacara Mapag Sri biasanya dibentuk pada saat pembubaran panitian upacara Baritan. Bisa juga panitian Upacara Baritan dikukuhkan kembali untuk menjadi panitian upacara Mapag Sri.

Pihak-pihak yang Terlibat Upacara 
Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara Mapag Sri adalah: kelompok tani, aparat desa, dan punduh. Punduh adalah orang yang dituakan atau ditokohkan di kalangan petani. Seorang punduh adalah orang yang menguasai masalah pertanian. Selain itu, ia juga mempunyai kemampuan dengan kekuatan supernatural.
Jabatan punduh tidak harus berlangsung turun temurun. Ini bisa terjadi kalau seorang punduh: pertama, tidak memiliki keturuan. Kedua, keturunannya perempuan semua. Ketiga, keturunannya tidak tinggal di tempat. Keempat, keturunannya dianggap tidak ada yang menguasai masalah pertanian.

Punduh yang sekarang (2004) merupakan keturunan dari punduh yang terdahulu. Keturunan yang terpilih sebagai punduh adalah yang menguasai masalah pertanian.

Dalam upacara Mapag Sri, punduh bertindak sebagai pemimpin upacara. Para petani dan aparat desa bertindak sebagai panitia. Sedangkan pihak aparat kecamatan dan dinas pertanian bertindak sebagai undangan.

Kalau seandainya tamu yang akan datang dari tingkat kabupaten, maka pihak aparat kecamatan juga terlibat sebagai panitian bersama-sama dengan para petani dan aparat desa. Kalau seandainya tamu yang akan diundang dari tingkat propinsi, maka pihak aparat kabupaten juga terlibat sebagai panitian bersama-sama dengan para petani, aparat desa, dan aparat kecamatan.


Persiapan dan Perlengkapan Upacara 
Perispan pelaksanaan Upacara Mapag Sri meliputi: pertama, pembentukan panitia. Setelah panitia terbentuk lalu dibicarakan susunan acara dan besarnya dana untuk keperluan acara yang dimaksud. Dana dihimpun dari para petani pemilik. Sedangkan petani penggarap sebatas membantu kegiatan. Besarnya dana yang harus disumbangkan oleh petani pemilik bergantung luas areal sawah yang dimiliki oleh masing-masing petani.

Jalannya Upacara 
Upacara Mapag Sri berlangsung setengah hari dari pagi hingga siang hari. Urutan prosesinya sebagai berikut:
  • Pukul 08.00 seluruh petani berkumpul. Acara dibuka oleh pembawa acara dan dilanjutkan dengan sambutan-sambutan oleh panitia dan pejabat yang berwenang.
  • Prosesi intinya adalah: sesajen dibawa ke tempat padi yang iikat lalu disimpan di sekitar padi tersebut. Kemudian padi di doai oleh punduh. Padi tersebut kelah dijadikan bibit.
  • Pemotongan padi, pertama dilakukan oleh punduh, dilanjutkan pejabat-pejabat terkait.
  • Selanjutnya padi digendong, padi ini sebagai padi yang dikeramatkan lalu dibawa ke meja khusus.
  • Doa bersama lalu ditutup dengan makan bersama.
  • Pertunjukan wayang kulit dengan ceritera Pandawa Nyawah.
  • Esok harinya para petani memanen di sawah masing-masing.


Makna yang Terkandung dalam Simbol Upacara 
Angka 7 yang ditunjukkan pada jumlah macam bunga menggambarkan kalau dalam 1 minggu ada 7 hari yang harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya positif.

SEJARAH ADAT SEDEKAH BUMI


ADAT SEDEKAH BUMI

Masyarakat jawa memang terkenal dengan beragam jenis tradisi budaya yang di ada di dalamnya. Baik tradisi cultural yang bersifat harian, bulanan hingga yang bersifat tahunan, semuanya ada dalam tradisi budaya jawa tanpa terkecuali. Dari beragam macamnya tradisi yang ada di masyarakat jawa, hingga sangat sulit untuk mendeteksi serta menjelaskan secara rinci terkait dengan jumlah tradisi kebudayaan yang ada dalam masyarakat jawa tersebut. Salah satu tradisi masyarakat jawa yang hingga sampai sekarang masih tetap eksis dilaksanakan dan sudah mendarah daging serta menjadi rutinitas bagi masyarakat jawa pada setiap tahunnya adalah sedekah bumi.

Tradisi sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat di pulau jawa yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang orang jawa terdahulu. Ritual sedekah bumi ini biasanya dilakukan oleh mereka pada masyarakat jawa yang berprofesi sebagai petani, nelayan yang menggantunggkan hidup keluarga dan sanak famil mereka dari mengais rizqi dari memanfaatkan kekayaan alam yang ada di bumi.
 
Bagi masyarakat jawa khususnya para kaum petani dan para nelayan, tradisi ritual tahunan semacam sedekah bumi bukan hanya merupakan sebagai rutinitas atau ritual yang sifatnya tahunan belaka. Akan tetapi tradisi sedakah bumi mempunyai makna yang lebih dari itu, upacara tradisional sedekah bumi itu sudah menjadi salah satu bagian yang sudan menyatu dengan masyarakat yang tidak akan mampu untuk dipisahkan dari kultur (budaya) jawa yang menyiratkan simbol penjagaan terhadap kelestarian serta kearifan lokal (Local Wisdem) khas bagi masyarakat agraris maupun masyarakat nelayan khususnya yang ada di pulau jawa.
 
Pada acara upacara tradisi sedekah bumi tersebut umumnya, tidak banyak peristiwa dan kegiatan yang dilakukan di dalamnya. Hanya saja, pada waktu acara tersebut biasanya seluruh masyarakat sekitar yang merayakannya tradisi sedekah bumi membuat tumpeng dan berkumpul menjadi satu di tempat sesepuh kampung, di bakai desa atau tempat-tempat yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut. Setelah itu, kemudian masyarakat membawa tumpeng tersebut ke balai desa atau tempat setempat untuk di do’akan oleh tetua adat. usai di do’akan oleh sesepuh atau tetua adat, kemudian kembali diserahkan kepada masyarakat setempat yang membuatnya sendiri. Nasi tumpeng yang sudah di do’akan oleh sesepuh kampung atau tetua adat setempat kemudian di makan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang merayakan acara sedekah bumi itu. Namun, ada juga sebagian masyarakat yang membawa nasi tumpeng tersebut yang membawanya pulang untuk dimakan beserta sanak keluarganya di rumah masing-masing. Pembuatan nasi tumpeng ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan pada saat upacara tradisi tradisional itu.
 
Menurut adat istiadat dalam tradisi budaya ini, di antara makanan yang menjadi makanan pokok yang harus ada dalam tradisi ritual sedekah bumi adalah nasi tumpeng dan ayam panggang. Sedangkan yang lainnya seperti minuman, buah-buahan dan lauk-pauk hanya bersifat tambahan saja, tidak menjadi perioritas yang utama. Dan pada acara akhir, nantinya para petani biasanya menyisakan nasi, kepala dan ceker ayam, ketiganya dibungkus dan diletakkan di sudut-sudut petak sawahnya masing-masing.
 
Bentuk Rasa Syukur
Dalam puncaknya acara ritual sedekah bumi di akhiri dengan melantunkan do’a bersama-sama oleh masyarakat setempat dengan dipimpin oleh tetua adat. Do’a dalam sedekah bumi tersebut umumnya dipimpin oleh tetua adat atau sesepuh kampung yang sudah sering dan terbiasa mamimpin jalannya ritual tersebut. Ada yang sangat menarik dalam lantunan do’a yang ada dilanjutkan dalam ritual tersebut. Yang menarik dalam lantunan doa tersebut adalah kolaborasi antara lantunan kalimat-kalimat Jawa (Jawa Dermayu) dan yang dipadukan dengan khazanah-khazanah doa yang bernuansa Islami.
 
Ritual sedekah bumi yang sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat jawa ini merupakan salah satu jalan dan sebagai simbol penghormatan manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan. Manurut cerita dari para nenek moyang orang jawa terdahulu, "Tanah itu merupakan pahlawan yang sangat besar bagi kehidupan manusia di muka bumi. Maka dari itu tanah harus diberi penghargaan yang layak dan besar. Dan ritual sedekah bumi inilah yang menurut mereka sebagai salah satu simbol yang paling dominan bagi masyarakat jawa khususnya para petani dan para nelayan untuk menunjukan rasa cinta kasih sayang dan sebagai penghargaan manusia atas bumi yang telah memberi kehidupan bagi manusia". Sehingga dengan begitu maka tanah yang dipijak tidak akan pernah marah seperti tanah longsor dan banjir dan bisa bersahabat bersandingan dengan masyarakat yang menempatinya.
 
Selain itu, Sedekah bumi dalam tradisi masyarakat jawa juga merupakan salah satu bentuk untuk menuangkan serta mencurahkan rasa syukur kepada Tuhan YME atas nimat dan berkah yang telah diberikan-Nya. Sehingga seluruh masyarakat jawa bisa menikmatinya. Sedekah bumi pada umumnya dilakukan sesaat setelah masyarakat yang mayoritas masyarakat agraris habis menuai panen raya. Sebab tradisi sedekah bumi hanya berlaku bagi mereka yang kebanyakan masyarakat agraris dan dalam memenuhi kebutuhannya dengan bercocok tanam. Meskipun tidak menuntut kemungkinan banyak juga dari masyarakat nelayan yang juga merayakannya sebagai bentuk rasa syukurnya kepada tuhan, yang menurut para nelayan disebut dengan sedekah laut. Itu sebagai bentuk rasa sukur masyarakat nelayan kepada tuhan sebab mereka bisa melaut dan mengais rizqi di dalamnya.
 
Namun sayangnya melihat realitas beberapa tahun terakhir ini, ritual sedekah bumi yang merupakan salah satu bentuk tradisi jawa yang sifatnya turun temurun, sedikit demi sedikit tanpa disadari sudah mulai memudar pamornya dan ditinggalkan oleh masyarakat jawa sendiri. Tradisi yang merupakan salah satu bentuk rasa penghargaan dan kasih sayang kepada tanah sudah tidak terlihat lagi. Dan makna sakral sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang terdapat dalam ritual dalam sedekah bumi juga mulai terkikis oleh perkembangan zaman. Sehingga tidaklah mengherankan jika di muka bumi banyak terjadi bencana alam. Sebab manusia sudah mulai melupakan dan menghargai jerih payah dan pengorbanan besar tanah bagi kehidupan manusia. Dan yang lebih parah lagi manusia sudah tidak mau lagi memanjatkan piji syukur kepada Tuhan YME yang telah memberikan kenikmatan dan kesejahteraan bagi manusia di alam semesta.
 
Tanpa mengurangi makna esensial yang terkandung dalam ritual sedekah bumi tersebut, sebagai manusia yang telah ditugasi dan dipercayai oleh Tuhan di muka bumi sebagai kholifatul Fir Ardi sudah sepatutnya kita renungkan kembali akan segala sikap yang telah diperbuat pada eksistensi bumi. Sebagai Kholifah yang bertanggung jawab penuh di bumi maka kita harus kembali memperdulikan serta melestarikan keadaan yang ada di dalamnya. Jangan sampai kita hanya melakukan berbagai kerusakan dan kebobrokan tanpa memperdulikan akibat pada akhirnya. Dengan kita memperhatikan dan memperdulikan bumi tanpa merusaknya sedikit pun, niscaya alam juga akan kembali bersahabat dengan manusia.

SEJARAH ADAT NGUNJUNG


ADAT NGUNJUNG

"Kebudayaan adalah benang merah yang menghubungkan dimensi ruang, waktu, manusia, serta kreativitasnya yang berlangsung tanpa henti. Ruang-ruang kebudayaan sebagai hasil ketajaman budi dan fikir masyarakat membentuk suatu kesatuan utuh yang tak dapat dipisahkan, baik nilai-nilai dalam tradisi, perekonomian, pertanian, pendidikan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sejarah, maupun lingkungan.

Seni pertunjukan di Indonesia, dalam perjalanannya, merupakan sebuah ungkapan hati para kreatornya yang disublimasikan dari pengalaman- pengalaman indrawi keseharian mereka, seperti mata pencaharian (pertanian), gejala alam, dsb. Dapat dipahami apabila kesenian yang wajar hanya dapat dihasilkan oleh kelompok masyarakat yang secara sosial budaya dan ekonomi telah sejahtera. Hal ini telah dicontohkan leluhur kita yang dapat kita lihat dari helaran seni tradisi pertanian, diantaranya tradisi "Ngunjung".

Ngunjung Sirung secara etimologi bermakna "menyambut dengan hormat tunas baru". Perayaan "ngunjung" merupakan sebuah tradisi penanaman padi yang pertama. Upacara ini berasal dari Indramayu, Majalengka, dan Cirebon. Tradisi "Ngunjung" biasa dilaksanakan pada bulan September (musim tanam) dan dimeriahkan dengan berbagai kesenian khas daerah-daerah tersebut. Sedangkan kata "sirung" kami maknai sebagai generasi-generasi pewaris budaya. Dengan demikian, "Ngunjung Sirung" adalah sebuah upaya revilatiliasai budaya, yaitu revitalisasi tradisi "ngunjung" untuk proses regenerasi. Melalui seni "Ngunjung Sirung", para "sirung" atau generasi muda Sunda mulai dikenalkan kepada budayanya, yaitu budaya Sunda.

Seiring dengan derasnya arus globalisasi yang semakin sukar diredam, budaya lokal dengan segala kearifannya mulai tersisihkan. Sunda, yang sedikitnya menyimpan tiga ratus jenis kreativitas budaya dalam bentuk kesenian saat ini juga terimbas oleh arus budaya global itu. Revitalisasi tradisi seperti "Ngunjung Sirung" diharapkan mampu meredam serbuan budaya global terhadap budaya lokal. "Ngunjung Sirung" juga kiranya dapat berkontribusi pada upaya-upaya pengembangan, pembinaan, dan pemakaian seni dan sastra sebagai khasanah budaya daerah seperti amanat Perda No. 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah.

SEJARAH ADAT NGAROT


UPACARA ADAT NGAROT

Keistimewaan uacara Ngarot adalah nuansanya yang kental dengan aroma tradisional dari masyarakat Desa Lelea. Upacara ini biasanya sangat ditunggu-tunggu oleh para pemuda dan pemudinya, di mana mereka membuat ajang perjodohan dalam semangat yang dinamis dan kreatif.

Bila ditelusuri asal mulanya, upacara ini sudah ada sejak abad ke-17 Masehi dan digelar secara periodik. Acara ini digelar setap hari Rabu, pada periode menjelang musim hujan sekitar bulan Oktober sampai Desember, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Anda dan siapa pun dapat bergabung dalam upacara ini – yang tentunya akan memberi pengalaman tersendiri.

Ngarot merupakan upacara adat sekaligus ajang mencari jodoh bagi masyarakat Lelea, Indramayu. Upacara ini selalu digelar pada bulan Desember. Setiap upacara digelar, para gadis dan pemuda berpakaian unik. Lalu berpawai mengelilingi desa. Akan tetapi, jangan coba-coba kaum janda /duda, gadis tak perawan atau pemuda tak perjaka ikut Ngarot. Konon ia bisa kena tulah, berupa aib yang memalukan. Benarkah ?

Upacara Ngarot memang hanya terdapat Desa/Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu. Tradisi yang rutin digelar tiap bulan Desember ini terbilang unik. Sebagian masyarakat disana mempercayai bila Ngarot merupakan saat penting bagi para remaja untuk mendapatkan pasangan hidup. Jodoh yang didapat dari ritual Ngarot, konon sering membuat kekal pasangan suami istri. Tak heran bila setiap upacara ini digelar, banyak pemuda dan pemudi turut serta. Dan sebagian peserta selalu pulang dengan wa¬jah cerah dan hati berbunga-bunga.


Asal Mula Ngarot

Pada mulanya, upacara Ngarot dirintis oleh kuwu (kepala desa) pertama Lelea yang bernama Canggara Wirena, tahun 1686. Awalnya, upacara tersebut bukan diperuntukkan sebagai "pesta mencari jodoh" seperti yang terjadi sekarang. Ngarot yang menurut bahasa Sunda berarti minum, merupakan arena pesta minum-minum dan makan-makan di kantor desa sebelum para petani mengawali menggarap sawah. Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bercocok tanam.

Kuwu Canggara Wirena sengaja mengadakan pesta Ngarot sebagai ungkapan rasa syukur kepa¬da tetua kampung bernama Ki Buyut Kapol, yang telah rela memberikan sebidang sawah seluas 26.100 m2. Sawah tersebut digunakan para petani untuk berlatih cara mengolah padi yang baik. Demikian pula bagi kaum wanitanya, sawah digunakan sebagai tempat belajar bekerja seperti tandur, ngarambet (menyiangi), pa¬nen padi, atau memberi konsumsi kepada para jejaka yang sedang berlatih mengolah sawah itu.

Dulu, upacara Ngarot bukanlah sarana mencari jodoh, melainkan arena pembelajaran bagi para pemuda agar pintar dalam ilmu pertanian. Akan tetapi perkembangannya, upacara Ngarot berkembang menjadi ajang mencari jodoh atau pasangan hidup.

Dihindari Janda-Duda

Sejak dulu, upacara yang hanya boleh diikuti para perjaka dan perawan. Upacara dimulai jam 8.30 dengan berkumpulnya para muda-mudi berpakaian warna warni di hala¬man rumah Kuwu. Mereka dengan wajah penuh keceriaan berduyun-duyun menuju ha¬laman rumah Pak Kuwu. Pakaian mereka indah-indah, dilengkapi aksesoris gemerlap, seperti kalung, gelang, giwang, bros, peniti emas, dan hiasan rambut. Untuk memikat hati para jejaki, para gadis selalu mengenakan ka¬camata dan kepalanya penuh di¬taburi bunga warna-warni seperti kenanga, melati, mawar dan kantil.

Upacara Ngarot ditandai dengan pawai arak-arakan sejumlah gadis dan perjaka desa. Para gadis berbusana kebaya yang didominasi warna merah, berkain batik, berselendang, dan rambut kepala dihias rangkaian bunga. Mereka lantas berjalan mengelilingi kampung. Sementara para jejaka tingting mengenakan baju pangsi warna kuning dan celana gombrang war¬na hitam, lengkap dengan ikat kepala, mengikuti di barisan belakang.

Seusai pesta pawai, semua peserta Ngarot masuk aula balai desa. Sambil duduk berhadap-hada¬an dan ditonton orang banyak, mereka dihibur dengan seni tradi¬sional tari Ronggeng Ketuk yang dimainkan penari wanita degan pasangan pria. Menurut warga, seni Ronggeng Ketuk dimaksudkan untuk ngabibita (menggoda) agar para jejaka dan gadis saling bepan¬dang-pandangan, untuk selanjutnya saling jatuh cinta.

Ketika para jejaka dan perawan bergembira ria, tidak halnya dengan kaum janda, duda dan remaja yang kehilangan keperawanan dan keperjakaannya. Pesta Ngarot merupakan upacara yang paling dihindari. Sebab bila mereka coba-coba menjadi peserta, bukan hanya aib yang bakal diterima, tapi juga malapetaka. Konon, jika seorang gadis tak perawan nekat mengikuti pawai arak-arakan Ngarot, maka bunga melati yang terselip di rambutnya, dengan sendirinya akan layu. Bila hal itu terjadi, maka si gadis akan mendapat aib karena sudah kehilangan kehormatan diri.

Tuah negatif untuk kaum janda berlaku pada saat berlangsung acara pokok Ngarot. Yakni ketika acara saling tatap mata dengan para jejaka. Wajah janda atau gadis tapi sudah tak perawan, meskipun sebelumnya berwajah cantik, tiba-tiba menjadi buruk rupa. Otomatis ia tidak akan mendapatkan pasangan. Bahkan yang lebih menakutkan, jika janda dan gadis tak perawan tadi nekat mengikuti upacara Ngarot, ia tak akan mendapat jodoh seumur hidup. Bagi kaum duda dan pemuda tak perjaka pun berlaku hal serupa.

Menurut warga di sana, sejak tahun 1990-an hingga sekarang, hampir 80 persen peserta Ngarot berhasil mendapatkan pasangan hidup menjalin rumah tangga dengan rukun. Namun belakangan, peserta Ngarot mulai menyusut. Anak remaja di Desa Lelea, kini sudah mulai enggan mengikuti pawai Ngarot. Entah apa penyebabnya. Akan tetapi, jika ingin mendapatkan jodoh yang masih “asli”, orang-orang tua di Indramayu menyarankan agar memilih peserta Ngarot. ***